Brutus adalah seorang petani gandum yang sangat kuat dan gagah,
tubuhnya besar dan berotot. Lahan gandum yang luas ia garap sendiri tanpa
bantuan siapapun. Di suatu panen yang sangat melimpah, Brutus menjadi sangat
bahagia dan menceritakan pada kawan-kawannya bahwa dia lah petani paling hebat
di desa itu. “Tak ada seorangpun yang bisa menandingi hasil panen gandum yang
aku punya! Hahaha!” kata Brutus dengan sombong.
Kawan-kawannya yang
mendengarkan hal itu juga merasa senang karena mereka tidak lagi khawatir kekurangan
gandum untuk musim paceklik mendatang. Mereka berpikir Brutus akan membagikan
hasil panen gandumnya kepada mereka. “Kalau memang banyak gandum yang berhasil
kau panen, bagilah sedikit untuk kami. Perkebunan kami terserang hama, jadi
kami sekarang kekurangan makanan. Sedangkan musim paceklik sudah hampir tiba”
kata salah seorang kawannya. Dengan nada bicara agak tinggi Brutus menjawab
“Enak saja kalian meminta hasil panenku! Akulah yang menanam dan merawatnya,
jadi kalian harus membelinya!”. Mendengar hal itu, salah seorang kawan Brutus
menawarkan barter. “Kalau kau mau menjual gandum itu, bagaimana kalau kutukar
dengan seekor kambingku? Aku sudah tidak punya uang lagi”. “Tidak bisa! Harga
gandumku mahal! Kalian harus menukarnya dengan sepuluh ekor kambing atau seekor
sapi jika ingin membeli satu genggam gandumku”. Dengan perasaan kecewa,
kawan-kawan Brutus memutuskan untuk tidak membeli gandum dari Brutus karena
harganya terlalu mahal dan mereka sudah hampir tidak punya apa-apa lagi.
Suatu hari di musim
paceklik, Brutus melihat-lihat lagi gandum yang ia simpan dalam sebuah lumbung
besar dan kokoh. “Tak ada seorangpun yang boleh menikmati semua gandum ini
kecuali diriku sendiri” kata Brutus dalam hati sambil tersenyum bangga pada
dirinya sendiri. Lumbung itu ia pasangi banyak jebakan supaya tidak ada yang
bisa mencurinya. Brutus pikir apa yang telah ia lakukan akan menjamin keamanan
gandumnya yang melimpah itu. “Dengan begini aku bisa tidur dengan tenang tanpa
khawatir kelaparan” Brutus bergumam dalam hati tanpa memikirkan nasib
kawan-kawannya yang sedang kekurangan makanan.
Keesokan harinya,
angin disekitar rumah Brutus bertiup dengan kencang, rupanya badai yang sangat
dahsyat terjadi. Brutus jadi khawatir dan melihat lumbung gandumnya dari jendela
rumah. Alangkah terkejutnya ia, ternyata angin yang sangat deras menerbangkan
lumbungnya dan menghamburkan semua gandum yang ia punya. “Jangan terbang!
Jangan tebang!” Teriak Brutus sambil menangis. Namun apa daya, semua gandum
yang ia banggakan sudah hilang entah kemana.
Brutuspun tak lagi punya persediaan
makanan dan menyesali kesombongannya. Dengan perasaan bersalah ia mau minta
maaf kepada kawan-kawannya. Betapa beruntungnya Brutus memiliki kawan yang
pemaaf, mereka malah mengajak Brutus makan bersama mereka. “Tak apa Brutus,
kami semua memaafkanmu. Sekarang makanlah hasil pancingan kami”. “Terima kasih
kalian telah mau berbagi makanan denganku, padahal kalian juga kekurangan
makanan. Akan aku balas semua jasa kalian dengan membagikan setengah hasil panenku
di musim mendatang”. Kata Brutus. Sejak saat itu merekapun berjanji untuk
saling membantu dalam hal apapun.
0 Komentar:
Posting Komentar