Laman

Minggu, 22 November 2015

SEKOLAH HEOLLEC DALAM KISAH : TERJEBAK DI DALAM KAMAR MAYAT RAHASIA


Pagi yang mendung, hari ini aku akan disekolahkan oleh ayah dan ibuku di sekolah Senior High School of Heollec yang terletak di daerah pedalaman kota Metty dekat perbukitan. Aku baru saja lulus dari sekolahku yang dulu yaitu di Junior High School of Thernity United, sebuah sekolah tingkat SMP unggulan. Meskipun aku baru tamat dari sekolah itu, aku bukanlah seorang murid yang cerdas. Otakku sangat standar dibanding dengan teman-teman yang lain. Kecerdasanku yang biasa itu membuat ayah dan ibuku khawatir dan takut kalau aku tidak lulus mendaftar di sekolah favorit di kota tempatku tinggal, yaitu kota Rusty Tach. Selain itu menurut pertimbangan mereka mungkin akan lebih baik bagiku jika aku dapat sekolah berasrama agar aku lebih mandiri.

Lagi pula tetanggaku yang menjadi alumni di sekolah sana pun mendapat hasil yang luar biasa. Dulu dia sangat nakal dan kacau, namun setelah lulus entah mengapa sifatnya berubah 100%. Hidupnya kini lebih teratur, disiplin, rapi dan tak lupa dia kini menjadi sangat pintar.

Di perjalanan yang bergemuruh suara petir, ayahku yang menyetir mobil tuanya terus menasehatiku. Sepertinya ayah, dan ibu yang berada di sampingnya sangat khawatir denganku. Tapi kami tak punya banyak pilihan lagi. “Yang penting kamu harus sekolah”, kata ibuku. Hujan akhirnya turun dengan deras. Jalan yang berliku dan menanjak sedikit menyulitkan perjalanan kami menuju sekolah itu.

Sampailah kami di depan pintu gerbang sekolah itu. Terlihat kawat-kawat dari besi dan baja yang tinggi menyelimuti sekolah itu, seperti tempat para narapidana berada. Sayang sekali, ayah dan ibu hanya boleh mengantarkanku sampai ke depan pintu gerbang saja. Koper dan tas-tas harus diserahkan kepada petugas yang berjaga di depan pintu gerbang, surat-surat pendaftaran juga demikian.

Hujan yang deras membuatku tak jelas untuk melihat daerah sekitar sana. Namun aku langsung dibawa kedalam sekolah itu melalui gerbang depan dengan jas hujan yang masih kukenakan. Aku hanya dapat melambaikan tangan kepada kedua orangtuaku yang berada di dalam mobil. “Grruummm!!” Gerbang tertutup.

Aku disuruh menaiki sebuah delman besar yang mungkin sudah lama menanti para siswa baru. Aku disuruh masuk kedalamnya oleh seorang petugas atau mungkin bisa juga disebut panitia pendaftaran. Ternyata sudah banyak pendaftar yang menanti di dalamnya.

“Ini yang terakhir untuk hari ini!”, kata pak kusir yang duduk di depan untuk mengendalikan dua kuda di depannya. Kuda pun berlari menuju asrama sekolah. Ternyata lumayan jauh juga dari gerbang, pasalnya hampir lima belas menit kami baru diturunkan dan sampai di asrama. Kami segera berkemas dan menuju kamar masing-masing dipandu oleh seorang kakek penjaga asrama. Sampai di kamar, ternyata kau sekamar dengan dua orang pemuda. Sangat luar biasa, aku terkejut melihat semua barangku tersusun rapi sebelum aku datang. Aku sempat berkenalan dengan dua orang teman baruku itu. Namanya sangat lucu, yaitu Kutil dan Sutil, mereka saudara kembar. Meskipun begitu, menurutku tak satupun dari mereka yang mirip satu sama lain.

Kami yang asyik mengobrol tak menyangka waktu menunjukkan jam sepuluh malam. Hujan tak hentinya membasahi bumi. Kami pun tidur pulas di ranjang masing-masing.

Tak terasa minggu berganti minggu, bulan berganti bulan telah berlalu. Aku semakin mengenal teman-teman, sekolah dan semua guruku. Semua terasa wajar, tak ada perbedaan yang mencolok antara sekolahku yang dulu dengan sekarang.

Pagi ini adalah pelajaran Ibu Dech yang mengajar Hidrobiologi. Kutil dan Sutil yang duduk di bangku belakangku terus bermain dengan hewan peliharaannya yang aneh, seekor kecoa jantan yang mereka beri nama Sweety, tanpa memperhatikan penjelasan Ibu Dech. Sweety lepas dari genggaman Sutil dan terus merayap ke bangku Grem, gadis yang suka bersolek dan jadi primadona. “Aaaa...!!!”, Grem berteriak melihat kecoa yang merayap di dekat sepatunya yang mahal. Tiba-tiba kelas menjadi gaduh. Ibu Dech pun terpaksa membubarkan kelas karena Kutil dan Sutil terus mengejar peliharaan kesayangan mereka sampai semua yang ada di kelas jadi berantakan.

Akhirnya Sutil dan Kutil di Panggil Ibu Dech keruangannya. Aku yang sekamar dengan mereka entah mengapa ikut dipanggil juga. Ternyata mereka menuduhku yang telah memberi mereka kecoa.

Selesai mendengarkan ocehan Ibu Dech, kami disuruh ke perpustakaan dan harus mencari tahu selengkap-lengkapnya tentang Lighthole Mosquito. Mulai sore ini kami harus menyelesaikan tugas itu karena besok pagi tugas itu harus dikumpulkan tanpa kecuali.

Malam kian menjelang, kami bertiga terus berada di perpustakaan untuk mencari informasi yang kami perlukan untuk menyelesaikan tugas. Di ruang tengah perpustakaan kami bertiga berkumpul di sebuah meja yang cukup besar, ditemani lampu yang terus menyala remang-remang. Hari semakin larut, mata kami pun semakin berat. Tiba-tiba aku tak sengaja menemukan kertas yang terselip di sebuah tumpukan buku-buku di atas meja yang cukup tebal. Rasa ingin tahu membuatku ingin membaca isinya. Ternyata sebuah denah, entah denah apa, aku segera memberi tahu Sutil dan Kutil yang sempat tertidur tertelungkup di atas meja.

“Ehm... Apa sih? Aku sangat mengantuk, tolong jangan sekarang..”
“Coba lihat, aku dapat sesuatu yang menarik”, aku terus berusaha membangunkan mereka.
“Apaan sih?”, mereka mencoba membuka mata dan melihat ke arah denah yang kutunjuk. Mereka tiba-tiba langsung sontak terbangun.
“Denah apa ini? Sepertinya denah perpustakaan”, kata Sutil.
“Apa yang bertanda ‘X’ di tengah ini?”, tanya Kutil.
“Mungkin sebuah ruangan rahasia, sini coba kita perhatikan. Ini adalah meja tengah, lalu tanda ‘X’ di sini si bawah meja ini”

Kami bertiga langsung menunduk dan segera membuka karpet yang melapisi lantai itu. Ternyata memang benar, ada semacam pintu bawah tanah yang terbuat dari kayu ulin. Penasaran, kemudian kami buka pintu yang tidak terkunci itu dan masuk secara diam-diam. Pintunya tertutup lagi secara tiba-tiba saat kami semua masuk ke dalam. Ruangan jadi gelap, tak ada satupun yang dapat dilihat. Pintunya pun tak dapat kami buka lagi. Untunglah Kutil membawa senter kecil di dalam kantongnya. Kami yang tak mungkin keluar lagi terus menyusuri ruangan gelap itu. Semakin ke dalam semakin terlihat semua yang ada di sana. Ada banyak sekali peti-peti dan ranjang-ranjang yang ditutupi kain putih yang menonjol di atasnya. Suara-suara aneh mulai terdengar, kami melihat ada tangan yang keluar dari selimut yang berwarna putih itu. Aku yang penasaran langsung membuka kain itu tanpa rasa takut. Ternyata terbaring seorang siswa yang terbujur kaku. Melihat mukanya pucat, aku langsung yakin itu mayat. Lampu di ruangan itu tiba-tiba menyala. Terlihat seseorang di balik sinar yang remang-remang hijau. Dia semakin mendekat dan mulai tampak wajah yang berdiri di depan kami itu. Seseorang yang membawa kapak di tangannya. Ia terus berjalan mendekat, kami sorotkan nyala senter ke wajahnya.

“Ibu Dech!!”, kataku terkejut.
Dengan ekspresi yang menakutkan Ibu Dech berkata,
“Kalian akan kujadikan bahan percobaanku selanjutnya!!”

(PATAH)

0 Komentar:

Posting Komentar